Membedah Ulag Gurita Cikeas - Beberapa bulan kemarin sempat terjadi beberapa kotroversi tentang penerbitan buku yang berjudl Gurita Cikeas, sekarang kembali lagi di hadapan publik kita tentang apa dan kenapa buku itu beredar luas di tanah air serta bagaimana isi buku tersebut, Membedah Ulang Cikeas sejak diperkenalkan Galang Press pada acara pre-launching (23/12/2009) di Jogjakarta, buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC), Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Aditjondro (GJA) menimbulkan kontroversi. Tak kurang, Presiden SBY dalam beberapa kesempatan perlu memberikan sanggahan dan menyebutnya ''fitnah''. Para pendukung SBY pun, baik yang berlatar belakang akademikus maupun politikus, ikut menghujat MGC sebagai ''sampah''.
Kehadiran buku MGC yang sebagian besar menyingkap skandal korupsi atau ''perampokan'' Bank Century dan keterlibatan yayasan-yayasan Cikeas binaan SBY seakan menjadi momok yang menakutkan. Sebab, itu mengganggu kekuasaan pemerintahan SBY. Ketakutan tersebut tecermin dari reaksi keras pemerintah yang menilai buku tersebut berisi pelanggaran terhadap SARA, pencemaran nama baik, hingga berakhir pada pelarangan buku. Kita pun bertanya, apa jadinya kalau sebuah buku dibakar, dilarang beredar, dan penulisnya ''dihukum''? Apa bedanya dengan zaman Orde Baru yang membungkam dan melarang buku, yang sudah dikecam habis-habisan oleh gerakan reformasi? Apa bedanya dengan rezim antidemokrasi yang mengadili seorang penulis? Apa bedanya dengan praktik inkuisisi di zaman lalu?
Berlatar belakang pertanyaan itulah, Komunitas Tanah Air ikut andil dalam menanggapi buku kontroversial yang saat ini sudah ditarik dari pasaran itu. Yakni, menerbitkan buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas. Komunitas Tanah Air adalah komunitas yang sebagian besar anggotanya merupakan mantan aktivis '98 yang merasakan pahit-getir perjuangan melawan rezim Orde Baru hingga melahirkan reformasi. Mereka juga anak muda NU di Jogjakarta yang concern untuk mempertemukan antara ide-ide ke-NU-an/pesantren dengan ide-ide marhaenisme, ide-ide sosio-ekonomi, dan kerakyatan. Di bawah kepemimpinan Nur Khalik Ridwan, komunitas itu terus berada di barisan terdepan dalam mengontrol bangsa, menentang praktik KKN, dan ketimpangan sosial-ekonomi.
Hingga kini, atau lebih tepatnya hingga buku ini terbit, belum ada buku atau kajian yang coba merespons terbitnya MGC secara serius. Hanya, saat buku ini memasuki naik cetak, telah muncul dua buku lain yang menanggapi buku yang ditulis GJA tersebut. Yaitu, buku Hanya Fitnah dan Cari Sensasi, George Revisi Buku (ditulis Setiardi Negara, Jakarta) dan Cikeas Menjawab (ditulis Garda Maheswara, Jogjakarta). Meski demikian, nada dua buku tersebut tampak terkesan reaktif dan bukan mengapresiasi secara kritis (hlm. vi-vii).
Berbeda dengan dua buku di atas, buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas
memiliki model dan cara pandang yang berbeda sama sekali. ''Kami menulis buku karena ingin menyikapi buku. Bagi kami, membakar dan melarang buku adalah pekerjaan yang menunjukkan belum menjadi manusia yang beradab, yang akan semakin memperlama penemuan tentang arti menjadi Indonesia yang berwawasan luas, dan tegak berdiri secara terhormat di mata dunia, semakin tergerus mundur. Kami belajar dari masa lalu, bahwa pelarangan dan pembakaran buku tidak bisa melarang dan menghentikan gagasan,'' (hlm. 11-12).
Cara pandang yang ditawarkan Nur Khalik Ridwan dkk melampaui buku-buku sebelumnya; bukan sekadar membebek dan "mengamini tanpa reserve" buku MGC. Banyak kelemahan yang dapat ditemukan dalam buku MGC. Bahkan, jika dibandingkan dengan buku George sebelumnya, yaitu Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (diterbitkan LKiS Jogjakarta, 2006), penggarapan buku MGC terkesan tidak serius, seperti penulisannya yang kurang sistematis, tanpa pendahuluan, dan kurang mendalam, baik dari segi analisis maupun keragaman datanya.
Namun demikian, Komunitas Tanah Air juga tidak setuju dengan upaya kelompok-kelompok "yang disebut dalam buku" (termasuk para pendukungnya) melarang, apalagi memberedel, dan menyebutnya buku itu sebagai ''sampah''. Penyebutan ''sampah'' muncul karena dilatarbelakangi ketidakpahaman pihak yang menanggapi. Arianto Sangaji mengungkapkan, banyak di antara komentator Gurita Cikeas terjebak debat kusir karena tidak memahami teori ''jejaring korupsi'' yang mendasari buku MGC. Bisa ''dimaklumi'' bila pelakunya adalah para politikus karena kekuasaannya terganggu.
Salah satu solusi yang ditawarkan para mantan aktivis '98 dalam buku ini adalah mendorong bangsa Indonesia untuk bersikap bijak, yakni menghidupkan iklim adu argumentasi yang proporsional; buku dibalas buku, penelitian hendaknya juga dibalas penelitian, bukan malah diintimidasi dengan segala bentuknya.
Bagi mantan aktivis '98 itu, menulis buku adalah kegiatan manusiawi dan kegiatan membangun peradaban. Banyak peradaban yang dapat berkembang dan jaya karena menghargai buku, mencetak buku-buku, dan membuat iklim yang baik agar perdebatan dan diskursus dalam sebuah buku dan wilayah sosial bisa berkembang. Fungsi buku ialah dibaca, baik untuk memperkaya perspektif maupun memperdalam kritik. Buku adalah gizi rohani umat manusia. Karena itu, juga gizi rohani bagi bangsa Indonesia.
Lihatlah founding father's Indonesia: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Wahid Hasyim, dan banyak lagi yang berbeda dari segi ideologi. Mereka membaca semua buku dari berbagai referensi, mulai yang ''kanan'' sampai yang ''kiri''. Mereka juga menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk buku. Tradisi seperti itulah yang tidak lagi kita temukan pada pemimpin-pemimpin bangsa ini, belakangan. Jangankan membaca dan menulis buku, pemimpin kita justru sibuk ''memberedel'' buku.
Seorang pemimpin yang baik mestinya memberikan teladan dalam menyikapi suatu masalah. Pelarangan buku adalah tindakan fatal karena buku perlu dibaca sebagai informasi dan pendidikan. Lekra (saja) Tidak Membakar Buku, kata Muhiddin M. Dahlan. Dalam hal ini, pemimpin memiliki tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberikan teladan agar menyikapi buku dengan tidak membakar buku; dan rakyat memiliki kewajiban dan hak untuk mengoreksi sebuah kepemimpinan dan pemimpin suatu zaman, agar roda bangsa berjalan lebih bersih, sebagaimana dicita-citakan era reformasi.
Buku Membongkar Gurita Cikeas kiranya termasuk salah satu koreksi terhadap kepemimpinan SBY periode kedua ini. Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW Febri Diansyah, buku yang ditulis GJA itu menjadi penting sebagai warning terhadap bangsa ini agar jangan sampai apa yang terjadi di zaman Orba kembali terulang di zaman reformasi. Bahkan, Ray Rangkuti, direktur eksekutif Lingkar Madani Indonesia, berharap agar KPU harus menindaklanjuti data-data yang diungkap GJA dalam bukunya itu. Lalu, kenapa buku tersebut dilarang? Siapa yang tiran dan siapa yang sebaliknya?
Kehadiran buku MGC yang sebagian besar menyingkap skandal korupsi atau ''perampokan'' Bank Century dan keterlibatan yayasan-yayasan Cikeas binaan SBY seakan menjadi momok yang menakutkan. Sebab, itu mengganggu kekuasaan pemerintahan SBY. Ketakutan tersebut tecermin dari reaksi keras pemerintah yang menilai buku tersebut berisi pelanggaran terhadap SARA, pencemaran nama baik, hingga berakhir pada pelarangan buku. Kita pun bertanya, apa jadinya kalau sebuah buku dibakar, dilarang beredar, dan penulisnya ''dihukum''? Apa bedanya dengan zaman Orde Baru yang membungkam dan melarang buku, yang sudah dikecam habis-habisan oleh gerakan reformasi? Apa bedanya dengan rezim antidemokrasi yang mengadili seorang penulis? Apa bedanya dengan praktik inkuisisi di zaman lalu?
Berlatar belakang pertanyaan itulah, Komunitas Tanah Air ikut andil dalam menanggapi buku kontroversial yang saat ini sudah ditarik dari pasaran itu. Yakni, menerbitkan buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas. Komunitas Tanah Air adalah komunitas yang sebagian besar anggotanya merupakan mantan aktivis '98 yang merasakan pahit-getir perjuangan melawan rezim Orde Baru hingga melahirkan reformasi. Mereka juga anak muda NU di Jogjakarta yang concern untuk mempertemukan antara ide-ide ke-NU-an/pesantren dengan ide-ide marhaenisme, ide-ide sosio-ekonomi, dan kerakyatan. Di bawah kepemimpinan Nur Khalik Ridwan, komunitas itu terus berada di barisan terdepan dalam mengontrol bangsa, menentang praktik KKN, dan ketimpangan sosial-ekonomi.
Hingga kini, atau lebih tepatnya hingga buku ini terbit, belum ada buku atau kajian yang coba merespons terbitnya MGC secara serius. Hanya, saat buku ini memasuki naik cetak, telah muncul dua buku lain yang menanggapi buku yang ditulis GJA tersebut. Yaitu, buku Hanya Fitnah dan Cari Sensasi, George Revisi Buku (ditulis Setiardi Negara, Jakarta) dan Cikeas Menjawab (ditulis Garda Maheswara, Jogjakarta). Meski demikian, nada dua buku tersebut tampak terkesan reaktif dan bukan mengapresiasi secara kritis (hlm. vi-vii).
Berbeda dengan dua buku di atas, buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas
memiliki model dan cara pandang yang berbeda sama sekali. ''Kami menulis buku karena ingin menyikapi buku. Bagi kami, membakar dan melarang buku adalah pekerjaan yang menunjukkan belum menjadi manusia yang beradab, yang akan semakin memperlama penemuan tentang arti menjadi Indonesia yang berwawasan luas, dan tegak berdiri secara terhormat di mata dunia, semakin tergerus mundur. Kami belajar dari masa lalu, bahwa pelarangan dan pembakaran buku tidak bisa melarang dan menghentikan gagasan,'' (hlm. 11-12).
Cara pandang yang ditawarkan Nur Khalik Ridwan dkk melampaui buku-buku sebelumnya; bukan sekadar membebek dan "mengamini tanpa reserve" buku MGC. Banyak kelemahan yang dapat ditemukan dalam buku MGC. Bahkan, jika dibandingkan dengan buku George sebelumnya, yaitu Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (diterbitkan LKiS Jogjakarta, 2006), penggarapan buku MGC terkesan tidak serius, seperti penulisannya yang kurang sistematis, tanpa pendahuluan, dan kurang mendalam, baik dari segi analisis maupun keragaman datanya.
Namun demikian, Komunitas Tanah Air juga tidak setuju dengan upaya kelompok-kelompok "yang disebut dalam buku" (termasuk para pendukungnya) melarang, apalagi memberedel, dan menyebutnya buku itu sebagai ''sampah''. Penyebutan ''sampah'' muncul karena dilatarbelakangi ketidakpahaman pihak yang menanggapi. Arianto Sangaji mengungkapkan, banyak di antara komentator Gurita Cikeas terjebak debat kusir karena tidak memahami teori ''jejaring korupsi'' yang mendasari buku MGC. Bisa ''dimaklumi'' bila pelakunya adalah para politikus karena kekuasaannya terganggu.
Salah satu solusi yang ditawarkan para mantan aktivis '98 dalam buku ini adalah mendorong bangsa Indonesia untuk bersikap bijak, yakni menghidupkan iklim adu argumentasi yang proporsional; buku dibalas buku, penelitian hendaknya juga dibalas penelitian, bukan malah diintimidasi dengan segala bentuknya.
Bagi mantan aktivis '98 itu, menulis buku adalah kegiatan manusiawi dan kegiatan membangun peradaban. Banyak peradaban yang dapat berkembang dan jaya karena menghargai buku, mencetak buku-buku, dan membuat iklim yang baik agar perdebatan dan diskursus dalam sebuah buku dan wilayah sosial bisa berkembang. Fungsi buku ialah dibaca, baik untuk memperkaya perspektif maupun memperdalam kritik. Buku adalah gizi rohani umat manusia. Karena itu, juga gizi rohani bagi bangsa Indonesia.
Lihatlah founding father's Indonesia: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Wahid Hasyim, dan banyak lagi yang berbeda dari segi ideologi. Mereka membaca semua buku dari berbagai referensi, mulai yang ''kanan'' sampai yang ''kiri''. Mereka juga menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk buku. Tradisi seperti itulah yang tidak lagi kita temukan pada pemimpin-pemimpin bangsa ini, belakangan. Jangankan membaca dan menulis buku, pemimpin kita justru sibuk ''memberedel'' buku.
Seorang pemimpin yang baik mestinya memberikan teladan dalam menyikapi suatu masalah. Pelarangan buku adalah tindakan fatal karena buku perlu dibaca sebagai informasi dan pendidikan. Lekra (saja) Tidak Membakar Buku, kata Muhiddin M. Dahlan. Dalam hal ini, pemimpin memiliki tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberikan teladan agar menyikapi buku dengan tidak membakar buku; dan rakyat memiliki kewajiban dan hak untuk mengoreksi sebuah kepemimpinan dan pemimpin suatu zaman, agar roda bangsa berjalan lebih bersih, sebagaimana dicita-citakan era reformasi.
Buku Membongkar Gurita Cikeas kiranya termasuk salah satu koreksi terhadap kepemimpinan SBY periode kedua ini. Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW Febri Diansyah, buku yang ditulis GJA itu menjadi penting sebagai warning terhadap bangsa ini agar jangan sampai apa yang terjadi di zaman Orba kembali terulang di zaman reformasi. Bahkan, Ray Rangkuti, direktur eksekutif Lingkar Madani Indonesia, berharap agar KPU harus menindaklanjuti data-data yang diungkap GJA dalam bukunya itu. Lalu, kenapa buku tersebut dilarang? Siapa yang tiran dan siapa yang sebaliknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar